Kamis, 11 November 2010

MOTIVASI BERAGAMA

1. Pengertian Motivasi
Kata motivasi berasal dari kata "motion" yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Dalam perbuatan manusia motivasi disebut juga dengan perbuatan atau tingkah laku. Dalam psikologi "motif" diartikan juga sebagai rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga untuk terwujudnya tingkah laku.
Motivasi adalah energi dasar yang menjadikan seseorang melakukan sesuatu. Dalam beragama manusia juga memiliki motivasi tertentu. Motivasi beragama selalu juga diartikan sebagai sesuatu yang mendorong orang untuk beragama.

2. Macam-Macam Motivasi Beragama
Menurut Psikologi Agama, motivasi beragama bukanlah motivasi yang berdiri sendiri seperti motivasi makan, minum, dan sejenisnya. Motivasi beragama adalah bagian dari motivasi lain seperti motivasi akan rasa aman, motivasi dicintai, dan motivasi pernyataan diri dan sejenisnya.
Menurut Psikologi Agama ada 4 macam motivasi beragama pada manusia yaitu:
2.1. Motivasi untuk Mengatasi Rasa Frustrasi
Pandangan ini berasal dari Frued yang memandang agama merupakan jawaban manusia terhadap frustrasi yang dialaminya dalam berbagai bidang kehidupannya. Manusia bertindak religius karena dia mengalami frustrasi dan untuk mengatasi frustrasi tersebut. Penyebab frustrasi dalam kehidupan ada 4 macam:
a. frustrasi karena alam
b. frustrasi karena sosial
c. frustrasi karena moral
d. frustrasi karena maut
Bukan hanya Frued yang berpendapat bahwa penyebab manusia beragama adalah frustrasi, Jung juga berpendapat hampir senada dengan Frued. Jung menyatakan bahwa agama menjadi sarana yang ampuh dan obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit neurosis pada manusia.
Pandangan ini muncul disebabkan pengalaman keduanya sebagai psikiater. Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang datang ke klinik mereka yang dijadikan objek penelitian. Bagi pasien tersebut agama ternyata menjadi salah satu terapi yang ampuh dalam penyembuhan penyakitnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa frustrasi dapat meningkatkan aktivitas-aktivitas keagamaan pada seseorang. Namun banyak juga frustrasi yang menyebabbkan seseorang jauh dari agama. Jika demikian kelompok tertentu mungkin akan lebih giat beragama ketika frustrasi, sementara kelompok lain akan semakin jauh dari agama pada saat mengalami frustrasi.
Oleh sebab itu terlalu sederhana dan apriori jika disimpulkan bahwa frustrasi merupakan penyebab seseorang beragama. Sebab dua kemungkinan menjauh dan mendekat terhadap ajaran agama dapat disebabkan frustrasi.
2.2. Motivasi Agama Sebagai Sarana untuk Menjaga Kesusilaan dan Tata Tertib Masyarakat
Selalu jika ditanyakan kepada manusia mengapa mereka mendidik anak-anaknya beragama, mereka umumnya menjawab: "karena dengan agama mereka akan menjadi orang yang baik." Pertanyaan senada pernah ditanyakan kepada para orangtua di Prancis dalam sebuah penelitian. Responden yang berusia antara 18-30 tahun terdiri dari orang-orang yang taat beragama (73%), percaya kepada ketuhanan Kristus (62%), sangat sering berdoa (10%), sering berdoa (19%) tersebut memberikan jawaban sebagai berikut:
• 30% mendidik anaknya dengan ajaran agama karena tradisi.
• 28% pendidikan agama akan menanamkan moral pada anak
• 30% karena pendidikan agama akan membantu anak untuk hidup lebih baik dan memberikan pengangan dan menarik perhatian anak-anak terhadap nilai-nilai kemanusian dan sosial, dan
• 12% didorong keyakinan agama yaitu untuk menjadikan mereka beriman dan demi keselamatan jiwa mereka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orangtua di Perancis mendidik anak mereka dengan ajaran agama cenderung pada alasan sosial dan tradisi daripada karena alasan agama. Tentu saja pengertian agama yang fungsional ini tidak jelek. Namun jika menyimpulkan bahwa alasan beragama untuk etika sosial terlalu sederhana.
Memandang agama sebagai alat pengaman sosial mengundang bahaya. Pertama, penggabungan nilai-nilai agama dan moral dapat membuat agama kehilangan substansinya masing-masing, padahal agama berlalu universal, sedangkan moral selalu berlaku lokal. Kedua, bila agama dipakai sebagai sarana untuk menjamin lancarnya kehidupan sosial moral, agama dapat disalahgunakan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Jadi, secara fungsional dapat diakui bahwa agama dapat menjaga tatanan moral, tetapi agama tidak saja bersifat fungsional tetapi agama adalah kebutuhan alami manusia, meskipun tanpa alasan sosial.
2.3. Motivasi untuk Memuaskan Intelek yang Ingin Tahu
Ahli Psikologi Agama yang berpendapat bahwa motivasi beragama untuk memuaskan intelektualnya mengemukakan alasan sebagai berikut:
Pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang menyelamatkan, sebagaimana aliran 'gnosis,' sebuah aliran keagamaan yang memasuki alam dunia Yunani-Romawi pada abad-abad pertama tarikh masehi. Aliran ini membebaskan para penganutnya dan kejasmanian yang dianggap menghambat dan menyiksa manusia serta menghantarkannya kepada keabadian. Dalam dunia modern dari sudut aliran psikologi aliran ini dipandang sama dengan "Christin Science" bahkan mungkin dapat digolongkan ke dalam aliran kebatinan.
Kedua, dengan menyajikan moral, maka agama dapat memuaskan intelek manusia yang ingin tahu apa dan bagaimana yang dilakukannya dalam hidupnya agar mencapai tujuan hidupnya. Ketiga, agama menyajikan pengetahuan tentang arah dan tujuan hidupnya. Secara psikologis manusia memerlukan keterarahan untuk hidupnya. Bila hidup tidak berarah, tiada asal dan tujuan, maka kacau balaulah kehidupan dan cenderung tidak berarti.
2.4. Motivasi Mendapatkan Rasa Aman
Semua manusia memiliki rasa takut yang menyebabkan mereka merasa tidak aman. Ketakutan dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, ketakutan yang berobjek, seperti manusia takut kepada binatang, manusia, dan lain-lain. Kedua, ketakutan yang tidak berobjek, seperti takut begitu saja, cemas hati, gelisah, dan sejenisnya. Dalam kondisi seperti itu seseorang merasa takut, tetapi tidak tahu apa yang ditakutinya. Kierkegaard mengatakan justru yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuannya untuk cemas hati (ketakutan tanpa objek). Sementara Heidegger berpendapat, perasaan takut yang mendalam merupakan sumber filsafat, sejauh perasaan tersebut membuat seseorang mengalami "jurang ketiadaan" yang menganga bagi orang yang menyadari kerapuhan serta kefanaan dirinya.
Dalam berbagai penyelidikan ketakutan tanpa objek seperti ketakutan yang terselubung di balik rasa malu, rasa bersalah, dan takut mati menyebabkan seseorang mencari suatu kekuatan sebagai tempat berlindung. Oleh sebab itu Psikologi Agama memandang ketakutan tanpa objek ini dapat mendorong seseorang memilih agama sebagai tempat berlindung sebagaimana hal dengan frustrasi. Para ahli Psikologi Agama menyatakan: "Agama merupakan pengungsian bagi manusia dari ketakutannya."
Memang terlalu sederhana bila mengatakan bahwa ketakutan menyebabkan seseorang beragama, namun harus diakui dalam kondisi takut seseorang mungkin mengambil salah satu dari dua sikap untuk mengatasi ketakutannya. Pertama, mencari perlindungan, pada kondisi ini orang mungkin mencarinya di dalam ajaran agama. Kedua, berusaha menekan rasa takut dengan melakukan kompensasi, sublimasi, dan sejenisnya. Kompensasi dapat berupa kegiatan hura-hura, rekreasi, atau kegiatan-kegiatan yang bermanfaat lainnya. Sublimasi dapat berupa memindahkan ketakutan kepada kegiatan lain seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang disenangi, bahkan mungkin mengikuti kegiatan keagamaan. Bagaimanapun ketakutan menurut Nico adalah gejala, simpton, sinyal, dan peringatan itu memperingatkan manusia bahwa dasar-dasar eksistensinya ada di luar kuasa manusia sendiri (Nico, 1992: 112).
Keempat motivasi beragama di atas memang belum seluruhnya menjawab pertanyaan apa sebenarnya motivasi manusia beragama, namun perdebatan psikologi sebagai ilmu empiris baru bisa menjelaskan sebatas itu. Persoalan beragama itu menjadi bagian rahmat dan hidayah Tuhan, tidak bisa dikaji psikologi, karena masalah tersebut berada di luar wilayah pengetahuan empiris.